Di tengah reruntuhan bangunan dan jejak perang yang masih tampak jelas, warga Kafr Zita di barat laut Suriah menunjukkan kegigihan yang menginspirasi. Meski Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq telah mengalami kerusakan parah akibat pengeboman bertahun-tahun, semangat kebersamaan penduduk kota ini tidak pernah padam. Mereka bergotong royong membersihkan rumah ibadah tersebut, menggunakannya kembali meski kondisinya masih jauh dari sempurna.
Pemandangan itu menjadi simbol keteguhan hati masyarakat yang tidak rela kehilangan salah satu pusat kehidupan mereka. Masjid bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga ruang berkumpul, berdiskusi, dan menguatkan satu sama lain dalam situasi sulit. Dengan keterbatasan yang ada, masyarakat tetap melaksanakan shalat berjamaah di antara dinding yang retak dan atap yang rusak.
Upaya membersihkan masjid dilakukan secara swadaya. Anak muda hingga orang tua turun tangan, membawa peralatan sederhana untuk mengangkat puing-puing dan merapikan bagian dalam masjid. Pekerjaan itu bukan hanya bentuk fisik perbaikan, melainkan juga bentuk ibadah yang menumbuhkan semangat persaudaraan.
Kini, harapan baru mulai tumbuh dengan adanya kampanye penggalangan dana bertajuk "Rumah Allah sebelum rumah kita". Kampanye ini mengajak masyarakat luas untuk berkontribusi dalam merenovasi Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq agar kembali berdiri megah seperti dahulu.
Penggalangan dana tersebut disambut antusias oleh penduduk setempat. Mereka yang memiliki rezeki lebih memberikan sumbangan, sementara yang lain mendukung dengan doa, kerja sukarela, atau menyebarkan informasi agar lebih banyak dermawan ikut berpartisipasi.
Kampanye ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan masyarakat Kafr Zita dengan masjid mereka. Meski banyak rumah penduduk juga rusak akibat perang, mereka sepakat bahwa membangun kembali rumah Allah menjadi prioritas. Filosofi ini melahirkan solidaritas yang kokoh di tengah penderitaan.
Para penyelenggara kampanye mengaku optimis. Mereka percaya dengan kekompakan warga dan uluran tangan para dermawan, renovasi masjid bukan hanya mimpi. Bahkan, mereka berharap masjid dapat dibangun kembali lebih indah, menjadi simbol kebangkitan kota setelah bertahun-tahun dilanda konflik.
Banyak warga mengenang masa lalu ketika Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq masih berdiri megah dan ramai dengan kegiatan keagamaan. Saat itu, masjid menjadi pusat kehidupan masyarakat, tempat anak-anak belajar mengaji, pemuda berdiskusi, dan keluarga berkumpul saat hari besar Islam. Kenangan itu menjadi bahan bakar semangat untuk memperindah kembali masjid.
Meski kondisi ekonomi warga sangat sulit, mereka tetap berupaya memberikan apa yang bisa mereka sisihkan. Beberapa menyumbang uang, sementara yang lain menawarkan tenaga dan keterampilan, seperti tukang batu, tukang kayu, atau pengrajin lokal.
Suasana gotong royong ini membuat masyarakat kembali merasakan harapan. Mereka percaya jika masjid kembali berdiri kokoh, maka semangat hidup juga akan bangkit. Kehidupan sosial dan spiritual bisa dipulihkan perlahan, dimulai dari pusat ibadah.
Bagi warga Kafr Zita, masjid adalah lambang keberlanjutan hidup. Selama masjid masih ada, mereka merasa memiliki tempat untuk menguatkan iman dan mempererat persaudaraan. Itulah sebabnya mereka tidak menyerah meski situasi sulit.
Kampanye ini juga berhasil menyentuh hati banyak orang di luar kota. Beberapa dermawan dari wilayah lain bahkan ikut memberikan dukungan, menyadari pentingnya menjaga masjid sebagai simbol kebangkitan spiritual di tengah kehancuran fisik.
Perjalanan merenovasi masjid bukanlah hal yang mudah. Diperlukan dana besar, tenaga, dan waktu. Namun, masyarakat Kafr Zita sudah terbiasa dengan kesabaran. Bagi mereka, setiap batu yang diletakkan kembali pada tempatnya adalah bagian dari ibadah.
Semangat ini juga menjadi pelajaran bagi banyak pihak, bahwa bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun, kebersamaan dapat melahirkan kekuatan luar biasa. Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi bukti nyata bahwa harapan bisa hidup kembali di atas puing-puing perang.
Anak-anak di kota itu kini tumbuh dengan menyaksikan perjuangan orang tua mereka membangun masjid. Generasi muda diharapkan akan mewarisi nilai gotong royong, kesabaran, dan kecintaan terhadap rumah ibadah.
Pihak penyelenggara mengungkapkan bahwa target utama mereka bukan hanya menyelesaikan bangunan masjid, tetapi juga menghidupkan kembali suasana religius yang pernah ada. Mereka ingin masjid menjadi pusat kegiatan pendidikan, sosial, dan dakwah.
Dalam prosesnya, setiap langkah perbaikan masjid disambut dengan rasa syukur. Meski kecil, setiap kemajuan menumbuhkan harapan baru. Bahkan lantunan adzan dari pengeras suara yang rusak tetap mereka dengarkan dengan penuh khidmat.
Dukungan moral dari masyarakat sekitar juga menjadi penguat. Mereka saling mengingatkan bahwa masjid adalah simbol kesabaran dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik.
Warga Kafr Zita percaya, dengan kesabaran dan doa, masjid mereka akan kembali berdiri megah. Kampanye ini bukan hanya soal renovasi bangunan, melainkan tentang menghidupkan kembali semangat kota yang sempat hancur.
Di antara duka dan kerusakan, Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq kini menjadi simbol perlawanan terhadap keputusasaan. Warga Kafr Zita bertekad menjadikannya tanda kebangkitan, tempat ibadah yang akan terus menguatkan iman dan persaudaraan di tengah ujian zaman.
0 Comments