Bayangkan bila Palestina mengadopsi sistem kantonisasi layaknya Bosnia pascaperang. Wilayah yang saat ini terbagi ke dalam zona A, B, dan C berdasarkan Perjanjian Oslo II, ditambah Gaza yang selama ini dipisahkan secara politik dari Tepi Barat, kemudian dipecah menjadi sejumlah kanton. Masing-masing kanton memiliki perdana menteri, kabinet lokal, dan parlemen kecil untuk mengurus kebutuhan sehari-hari rakyatnya.
Dalam skenario ini, zona A yang kini dikuasai penuh oleh Otoritas Palestina akan menjadi kanton dengan PM sendiri. Zona B yang masih bercampur kendali Palestina dan Israel juga bisa dikembangkan menjadi kanton otonom. Bahkan zona C yang dikuasai penuh oleh Israel secara de facto mungkin tetap diberi status kanton, meskipun dalam praktiknya pengelolaannya akan sangat terbatas.
Gaza, yang saat ini dipimpin Hamas, bisa dipecah menjadi beberapa kanton berbasis kegubernuran. Setiap kanton memiliki PM lokal, sehingga bukan hanya satu otoritas yang mengendalikan seluruh Gaza. Tujuannya untuk mencegah monopoli kekuasaan dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik.
Dengan model ini, akan ada belasan PM di Palestina, setara dengan model Bosnia yang memiliki sepuluh kanton. Semua PM lokal tersebut tetap berada di bawah struktur nasional Palestina yang dipimpin PM pusat dan Presiden Mahmoud Abbas. Dengan kata lain, mereka memiliki kewenangan terbatas, sementara urusan pertahanan, diplomasi, dan keuangan makro tetap ditangani pusat.
Pertanyaannya: apakah sistem ini akan meredakan situasi atau justru menambah keruwetan politik? Di satu sisi, banyaknya jabatan PM lokal bisa menciptakan rasa representasi yang lebih besar di masyarakat. Setiap daerah merasa memiliki pemimpin sendiri yang dekat dengan rakyatnya.
Namun di sisi lain, banyaknya jabatan politik juga bisa memperdalam fragmentasi. Risiko perebutan kewenangan antar-PM lokal dan PM pusat bisa memperuncing ketegangan, apalagi jika tidak ada mekanisme jelas untuk membagi urusan administrasi.
Jika meniru Bosnia, struktur ini bisa dirancang agar tiap kanton punya kebebasan penuh dalam urusan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lokal, sementara keamanan nasional tetap dipegang pusat. Dengan begitu, setiap wilayah bisa menyesuaikan kebijakan sesuai karakter masyarakatnya.
Misalnya, kanton di Gaza Utara bisa fokus pada pemulihan infrastruktur, sementara kanton di Rafah lebih menekankan perdagangan lintas perbatasan. Di Tepi Barat, kanton Ramallah bisa menekankan pembangunan teknologi, sedangkan kanton Hebron berfokus pada industri kerajinan dan pertanian.
Kelebihan dari sistem kanton adalah adanya ruang kompromi. Faksi-faksi politik yang selama ini bersaing, seperti Fatah, Hamas, atau kelompok kecil lain, bisa mengendalikan kanton masing-masing tanpa harus saling menjatuhkan di level nasional.
Namun, kelemahannya adalah kemungkinan munculnya politik feodal baru. Para PM lokal mungkin lebih mementingkan kekuasaan sendiri ketimbang kepentingan nasional. Hal ini bisa menciptakan kebuntuan seperti yang dialami Bosnia, di mana pengambilan keputusan nasional berjalan sangat lambat karena veto dari berbagai entitas.
Skenario ini juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah Israel akan menerima? Sebab di zona C, Israel masih menguasai penuh keamanan dan pemukiman Yahudi. Jika dijadikan kanton, pengaturan administrasi hanya bersifat simbolik, sementara kekuasaan nyata tetap berada di tangan Israel.
Dari sisi rakyat Palestina, sistem kanton bisa jadi diterima bila memang memberi ruang demokrasi yang lebih nyata. Rakyat di Gaza, misalnya, bisa memilih PM kantonnya sendiri tanpa harus tunduk sepenuhnya pada Hamas. Ini bisa melemahkan dominasi satu kelompok politik di suatu wilayah.
Namun bila dilihat dari aspek diplomasi, dunia internasional mungkin memandang sistem ini terlalu rumit. Negara-negara donor akan kesulitan menyalurkan bantuan karena harus berkoordinasi dengan banyak PM lokal, bukan hanya satu pemerintah pusat.
Meski demikian, sistem kanton bisa menjadi jembatan kompromi jangka pendek. Ketimbang menunggu solusi dua negara yang mandek, atau satu negara dengan konflik tanpa akhir, kantonisasi memberi ruang bagi masyarakat untuk tetap hidup dengan struktur yang lebih stabil, meskipun penuh keterbatasan.
Bagi Mahmoud Abbas, skema ini bisa memperpanjang legitimasi politiknya. Sebagai Presiden, ia tetap menjadi kepala negara, sementara PM pusat menjadi koordinator semua PM lokal melalui Kementerian Dalam Negeri Palestina. Dengan demikian, ia bisa menjaga kontrol tanpa harus berhadapan langsung dengan oposisi kuat seperti Hamas.
Di lapangan, banyaknya PM lokal juga bisa membuka peluang rekonsiliasi. Hamas mungkin tetap berkuasa di satu atau dua kanton Gaza, sementara Fatah memegang kanton lain. Kelompok kecil seperti Jihad Islam bisa diberi ruang di kanton tertentu. Hal ini bisa menurunkan tensi konflik bersenjata karena setiap pihak memiliki saluran politik resmi.
Namun, risiko besar tetap ada. Fragmentasi politik yang semakin dalam bisa membuat Palestina semakin sulit berbicara dengan satu suara di forum internasional. Persoalan seperti status Yerusalem, pengungsi, dan batas negara bisa makin sulit diselesaikan karena tidak ada konsensus nasional yang kuat.
Dengan demikian, menjadikan Palestina seperti Bosnia dalam sistem kanton adalah skenario yang ambivalen. Ia bisa membuka ruang stabilitas lokal, tetapi juga berpotensi menjerumuskan Palestina ke dalam birokrasi yang rumit dan lamban.
Pada akhirnya, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada dua faktor: kemauan Israel untuk mengakui otonomi kanton, dan komitmen faksi-faksi Palestina untuk tidak menyalahgunakan jabatan baru demi kepentingan sempit. Tanpa itu, sistem kanton hanya akan menambah deretan kursi PM tanpa menghasilkan perdamaian sejati.
Dibuat oleh AI. Baca selanjutnya
0 Comments