Tradisi pengumpulan dana atau crowdfund dalam dunia Islam memiliki sejarah panjang, dimulai dari kepedulian umat terhadap Masjidil Haram di Mekkah. Sejak abad ke-17, penguasa Mekkah, Syarif Barakat, pernah mengirim utusan ke Aceh pada 1688 M untuk mengumpulkan sumbangan demi pemeliharaan Masjidil Haram. Utusan ini sebelumnya gagal mendapatkan dana dari India, sehingga Aceh menjadi tujuan utama penggalangan dana.
Di Aceh, rombongan diterima oleh Syekh Abdul Rauf yang mempertemukan mereka dengan Sultanah Naqiatuddin Syah. Sultanah kemudian memerintahkan seluruh warga Aceh untuk berkontribusi dalam pembangunan dan pemeliharaan Masjidil Haram. Sejarah mencatat bahwa hingga 1000 ton emas pernah dikirim ke Mekkah melalui sumbangan masyarakat Aceh, dan bahkan pada tahun 1883 sebagian dana tersebut masih tersisa ketika Snouck Hurgronje mengunjungi kota suci itu.
Tradisi penggalangan dana ini kemudian meluas ke proyek besar lainnya, termasuk pembangunan Kereta Api Hijaz pada masa Sultan Abdul Hamid II. Sultan memerintahkan seluruh kaum Muslimin untuk berpartisipasi membiayai proyek suci ini, yang membutuhkan dana sekitar 16 juta dolar pada nilai saat itu. Selain sumbangan pribadi, dana juga datang dari pemerintah, angkatan bersenjata, tokoh masyarakat, serta pemerintahan Mesir dan Iran. Pengerjaan proyek melibatkan 5000 anggota militer dan penduduk sipil.
Dalam konteks pembangunan Kereta Api Hijaz, beberapa catatan media lebih menyoroti delegasi dari India, namun orang Aceh kemungkinan juga ikut berpartisipasi, meski keterlibatan mereka jarang diberitakan. Bahkan, sumbangan dari wilayah Nusantara seringkali disalurkan melalui jalur diplomatik, termasuk kemungkinan kontribusi dari Sisingamangaraja XII, yang dananya disalurkan melalui Sultan Barus untuk diberikan kepada Ottoman melalui Sultan Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam Nusantara memiliki peran penting dalam proyek-proyek Muslim transnasional.
Hingga era modern, tradisi crowdfund Muslim tetap hidup melalui lembaga seperti Islamic Development Bank (IsDB) yang menjadi pengembangan skala global dari praktik penggalangan dana untuk pembangunan umat. Di Suriah, model serupa juga dijalankan khusus untuk membantu warga Suriah dari perantauan, dengan pengumpulan dana yang transparan dan terorganisir. Misalnya, kampanye "#Loyalty to Idleb" berhasil mengumpulkan lebih dari 208 juta dolar dari perantau Suriah di luar negeri untuk membantu warga yang terdampak konflik, menunjukkan kesinambungan tradisi filantropi Islam dari abad ke-17 hingga sekarang.
Umat Islam, baik dari Nusantara, Timur Tengah, maupun Asia lainnya, telah menunjukkan tradisi solidaritas melalui penggalangan dana ini. Dari pemeliharaan Masjidil Haram, pembangunan jalur kereta suci di Hijaz, hingga dukungan modern melalui IsDB, praktik ini menegaskan keterikatan spiritual dan sosial umat Muslim lintas generasi dan wilayah.
Di Aceh, sejarah ini menjadi simbol kebanggaan karena keberhasilan masyarakatnya menggalang dana untuk Masjidil Haram, termasuk kemungkinan keterlibatan tokoh-tokoh penting seperti Sisingamangaraja XII. Sumbangan Nusantara menjadi contoh bagaimana wilayah jauh dari pusat dunia Islam mampu berkontribusi besar dalam proyek-proyek religius dan sosial.
Kereta Api Hijaz, yang dibangun untuk menghubungkan Damaskus hingga Madinah, menjadi bukti nyata implementasi tradisi crowdfund secara masif. Walau proyek ini tidak sampai ke Mekkah karena penolakan lokal dan keterbatasan dana, partisipasi umat Islam di seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara, menandai pentingnya solidaritas Muslim transnasional.
Sejarah penggalangan dana ini juga memperlihatkan adanya sistem organisasi dan koordinasi yang kompleks. Sumbangan tidak hanya bersifat sukarela, tetapi melalui jaringan diplomatik, komunitas lokal, dan otoritas keagamaan yang memastikan distribusi dana tepat sasaran.
Selain itu, partisipasi berbagai komunitas Muslim di dunia seperti Mesir, Iran, India, dan Aceh, menunjukkan bahwa crowdfund Islam bukan sekadar amal individu, melainkan bentuk kolaborasi lintas wilayah yang mengikat solidaritas keagamaan dan politik.
Dalam konteks modern, praktik serupa diterapkan oleh lembaga seperti Islamic Development Bank, yang menyalurkan dana untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan bantuan kemanusiaan. Konsep ini mempertahankan prinsip dasar penggalangan dana umat Islam yang telah berkembang selama berabad-abad.
Kasus Suriah menjadi contoh terbaru bahwa tradisi crowdfund tidak hanya untuk proyek fisik seperti masjid atau kereta api, tetapi juga untuk penanganan krisis kemanusiaan. Donasi dari diaspora membantu menyediakan kebutuhan dasar, layanan medis, dan rehabilitasi warga terdampak perang.
Tradisi ini memperlihatkan kesinambungan sejarah yang kuat: dari Masjidil Haram hingga proyek infrastruktur modern, umat Islam selalu memanfaatkan jaringan global untuk membantu komunitas mereka. Hal ini membuktikan bahwa prinsip solidaritas lintas batas selalu menjadi ciri khas dunia Islam.
Partisipasi Aceh dalam proyek-proyek besar dunia Islam, termasuk kemungkinan dukungan untuk pembangunan Kereta Hijaz dan Masjidil Haram, menegaskan peran wilayah Nusantara dalam sejarah global umat Muslim.
Meski pemberitaan media pada masa itu sering menyoroti delegasi India, sejarah mengindikasikan kontribusi dari Aceh dan Nusantara tetap ada, walaupun tidak selalu terdokumentasi secara rinci.
Tradisi crowdfund Islam juga memunculkan peran elite lokal dan penguasa sebagai penghubung antara umat dengan otoritas pusat, seperti Sultanah Naqiatuddin Syah di Aceh yang mengoordinasikan sumbangan masyarakatnya ke Mekkah.
Selain itu, tokoh-tokoh seperti Sisingamangaraja XII kemungkinan berpartisipasi melalui sumbangan yang disalurkan via Sultan Aceh ke Ottoman, menegaskan adanya hubungan solidaritas politik dan keagamaan yang erat.
Penggalangan dana ini menunjukkan karakter unik masyarakat Muslim Nusantara: mampu berkolaborasi dalam proyek global sambil tetap menghormati otoritas lokal dan internasional.
Selain proyek fisik, crowdfund Islam juga menjadi sarana diplomasi dan pengaruh politik. Dukungan finansial dari Aceh, Iran, Mesir, dan wilayah lain membantu membangun citra dan legitimasi penguasa di dunia Islam.
Seiring berjalannya waktu, praktik ini tetap relevan. Baik pembangunan masjid, kereta suci, maupun bantuan kemanusiaan modern, prinsip pengumpulan dana dari umat menjadi fondasi solidaritas sosial dan ekonomi.
Kesimpulannya, sejarah crowdfund Islam dari Masjidil Haram, Kereta Api Hijaz, hingga IsDB dan kampanye Suriah, menunjukkan kontinuitas tradisi solidaritas, partisipasi lintas wilayah, dan pengaruh Nusantara dalam konteks global.
Tradisi ini bukan sekadar sejarah masa lalu, tetapi juga teladan bagaimana umat Islam dapat bersatu untuk tujuan religius dan sosial, membuktikan bahwa crowdfund adalah warisan spiritual dan praktik praktis yang terus hidup hingga hari ini.
Sumbangan dari India
Selain sumbangan dari Aceh dan Nusantara, India juga menjadi wilayah yang sangat subur dalam pengumpulan dana untuk proyek-proyek Muslim. Di luar wilayah kekaisaran Ottoman, penggalangan dana sangat bergantung pada sumbangan sukarela, dan India menjadi pusat kontribusi yang paling signifikan. Hal ini menunjukkan jaringan solidaritas Muslim yang melintasi batas negara dan wilayah kolonial.
Di bawah pemerintahan Inggris, wilayah India pada masa itu mencakup daerah yang sekarang menjadi Pakistan dan Bangladesh. Muslim di berbagai wilayah ini menunjukkan antusiasme tinggi dalam memberikan dukungan finansial untuk pembangunan Kereta Api Hijaz, menegaskan kesadaran religius yang kuat dan keterikatan terhadap proyek-proyek umat Islam di Timur Tengah.
Seorang imam terkemuka, Abd al Haq dari Bombay, bahkan melakukan seruan yang menggetarkan hati umat Muslim. Ia menyerukan agar warga memberi sumbangan dengan ikhlas, menekankan bahwa memberikan kontribusi untuk realisasi Kereta Api Hijaz adalah bentuk cinta kepada Allah dan Nabi Muhammad. Pesan ini berhasil memotivasi banyak orang untuk berpartisipasi secara aktif.
Hasilnya, umat Muslim di India menyumbangkan dana yang sangat besar. Sekitar lima juta rupee berhasil dikumpulkan dari berbagai komunitas Muslim, termasuk pengumpulan melalui mekanisme pajak lokal. Misalnya, Muslim di Princely State of Hyderabad setuju untuk membayar pajak penghasilan sebesar 6,25% sebagai bentuk partisipasi dalam proyek suci ini.
Sumbangan dari India tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga simbolik. Kontribusi ini menunjukkan bagaimana komunitas Muslim di wilayah kolonial tetap terhubung dengan kepentingan umat global, sekaligus memperkuat solidaritas transnasional yang menjadi ciri khas tradisi crowdfund Islam dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20.
0 Comments